Oktober 22, 2010

Salamatush Shadr (LAPANG DADA)


               Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam  Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada. Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
          Apabila kamu memaafkan,dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (at-Thaghabun: 14).
          Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (an-Nur: 22) .
          Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (al-Maidah: l3).
          Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah:109).
               Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani  menyatakan bahwa  al-shafh lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Pernyataan ini dapat dipahami dengan sebuah analogi. Seperti dikemukakan terdahulu dari kata  al-shafh lahirlah shafhat yang berarti halaman.  Jika kita memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu kesalahan dan kesalahan itu ditulis dengan pensil, maka kita akan menngunakan penghapus karet untuk menghapusnya. Demikianlah halnya ketika Anda melakukan 'afw (memberi maaf).  Seandainya kesalahan itu ditulis dengan tinta, tentu kita akan menghapusnya dengan tip-ex agar tidak terlihat lagi. Akan tetapi, walaupun kita telah berusaha menghapus kesalahan tersebut, tentunya lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru bahkan lembaran itu mungkin menjadi lebih lusuh dari sebelumnya. Di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru sehingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti lembaran yang telah dihapus kesalahannya. Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, terkadang masih saja ada kekusutan masalah.  
               Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada  kesalahannya  tanpa  terhapus.  Itu sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak.
          Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (al-Hijr:85)
          Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian (az-Zukhruf:84).
Lapang dada dalam Amal Jama’i
               Salamatush shadr adalah kita dapat berlapang dada menerima kesalahan maupun suatu hal yang tidak kita setujui. Oleh karena itu, sikap ini saat diperlukan dalam aktivitas beramal jama’i karena tidak menutup kemungkinan adanya keputusan yang tidak kita sukai tapi merupakan keputusan bersama (jama’ah). Akan tetapi, dalam hal ini tidak cukup sampai dengan berlapang dada dalam menerima keputusan. Kita juga harus bisa berlapang dada dalam menjalankan keputusan tersebut demi terlaksananya kerja-kerja jama’ah dan tercapainya tujuan bersama.
               Jika salamatush shadr memiliki tingkatan lebih tinggi dari memaafkan, maka setelahnya masih ada tingkatan yang lebih tinggi lagi yakni “Itsar”. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai.

Wahai orang yang berfikir tentang ketentraman dan kedamaian bumi ini....
Pahamilah masalah ini dengan cermat...
Kembalilah kepada Islam...
Ya Allah, saksikanlah...
Sesungguhnya aku telah menyampaikan... (Hasan Al-Banna)

Maraji’
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an.
Catatan pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar