November 14, 2010

CACING JANTUNG (Dirofilaria Immitis)

Dirofilaria immitis adalah cacing jantung pada anjing. Merupakan cacing parasit yang mengisap cairan tubuh dan merusak jaringan tubuh inang yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan mekanik. Cacing ini dijumpai pada ventrikel kanan dan arteria pulmonalis (kadang-kadang pada beberapa lokasi lain seperti kamar mata depan dan rongga peritoneum) anjing, kucing, rubah, primata dan singa laut di seluruh dunia.
A. Sistematika
Filum                     : Nemathelminthes
Kelas                     : Phasmidia (Secernentea)
Ordo                      : Spirudida
Superfamili            : Filariicae
Famili                    :
Genus                    : Dirofilaria
Spesies                  : Dirofilaria immitis
B. Morfologi
Ujung anterior membulat atau melebar ke lateral, mulutnya tidak mempunyai bibir dan papila kepala tidak nyata. Ekornya pendek, pada cacing jantan ujungnya berbentuk spiral dengan spikulum tidak sama besar. Vulva sedikit di belakang esofageal, bersifat viviparosa dan biasanya mikrofilaria tidak berselubung yang berada di dalam darah. 
Cacing jantan panjangnya 120-200 mm dengan diameter 0,7-0,9 mm. Sedangkan cacing betina berukuran 250-310 mm dengan diameter 1,0-1,3 mm. Mikrofilaria dalam darah tidak berselubung dengan panjang 286-340 mikron dan diameter 6-7 mikron setelah difiksasi dengan formalin.
D. Penyebaran
Walaupun pada awalnya hanya terbatas di daerah beriklim bagian selatan, kini cacing ini tersebar ke semua daerah dengan berbagai iklim di mana vektornya (nyamuk) ditemukan.. Perpindahan parasit ini dari anjing ke anjing terjadi di seluruh wilayah Amerika Serikat (kecuali Alaska) dan daerah panas di Kanada. Infeksi tertinggi ditemukan 150 mil dari pantai Atlantik, mulai dari Texas hingga New Jersey dan sepanjang sungai Mississippi. Parasit ini juga telah ditemukan di Amerika Selatan, Eropa bagian selatann, Asia Tenggara, Timur Tengah, Australia dan Jepang.
E. Inang dan Siklus Hidup.
Seperti halnya dengan nematoda filaria yang lain, Dirofilaria immitis ini memiliki inang perantara. Terdapat sedikitnya lima genus nyamuk yang dapat bertindak sebagai inang perantara untuk sarana penyebaran cacing ini.
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria pindah dari usus ke hemosel dan kemudian ke saluran Malphigi dalam waktu 24-36 jam. Masuk ke saluran Malphigi menyerupai bentuk sosis (larva stadium I), dan menyilih menjadi larva stadium II yang memanjang. Dalam waktu 10-14 hari berkembang menjadi larva stadium III yang infektif. Larva ini keluar menuju hemosel dan berpindah menuju labium nyamuk sehingga sewaktu nyamuk menggigit larva ini berpindah ke dalam tubuh inang barunya.
Setelah larva masuk ke tubuh inang melalui gigitan, ia akan pindah melalui jaringan menuju lokasi sementara (membrana muskuler, jaringan subkutan, subserosa, jaringan adiposa, dan terkadang otot)  untuk berkembang, menyilih menjadi larva stadium IV dengan panjang 25-110 mm. Selanjutnya ia akan masuk ke dalam vena dan mencapai jantung dalam waktu kurang lebih 85-120 hari.
F. Patologi dan gejala klinis.
Patogenisitas dimulai dengan adanya rangsangan mekanis terhadap selaput jantung dan pembuluh-pembuluh darah yang berdekatan. Dirofilaria immitis dewasa terdapat bergerombol di dalam ventrikel kanan jantung dan karena denyutan jantung maka gumpalan cacing-cacing ini dapat menyumbat aliran darah dari ventrikel kanan ke paru-paru sehingga paru-paru kekurangan darah. Sumbatan aliran darah ini dapat menyebabkan penderita pingsan seketika karena kekurangan oksigen. Jika sumbatan berlangsung lama penderita akan mati karena asfiksia.
Dirofilaria immitis merupakan parasit dalam jantung anjing. Pada anjing sering terjadi kematian mendadak yang diakibatkan oleh infeksi parasit ini terutama pada anjing balap sewaktu sedang berlari. Hingga saat ini sekitar 37 kasus terjadi pada manusia.   
                                                         
Berbagai spesies Dirofilaria yang belum dewasa dapat menginfeksi manusia sebagai parasit konjungtiva atau subkutan. Terkadang Dirofilaria dewasa dilaporkan  menjadikan manusia sebagai inang abnormal.
G. Diagnosis
Tes darah merupakan yang paling umum dilakukan untuk diagnosis. Tes ELISA digunakan untuk mendeteksi antibodi untuk cacing jantung, akan tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. Umumnya tes ELISA mendeteksi antigen cacing betina. Spesifisitas tes ini mendekati 100 % dengan sensitifitas sekitar 85%. Hasil negatif dapat terjadi bila cacing yang menginfeksi dalam jumlah kecil, infeksi dini dan cacing yang ada berupa cacing jantan. Hasil positif juga dapat ditunjukkan dengan keberadaan mikrofilaria, biasanya menggunakan filter test. Selain itu, sinar X dapat memberikan gambaran kerusakan jantung yang disebabkan infeksi parasit ini.

PUSTAKA
Brotowidjoyo, Mukayat D. 1987. Parasit dan Parasitisme Edisi Pertama. PT Media Sarana Press: Jakarta.

Noble, Elmer R. dan Noble, Glenn A. 1989. PARASITOLOGI: Biologi Parasit Hewan Edisi Kelima. Alih Bahasa: Wardiarto. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Levine, Norman D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Alih Bahasa: Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Aplikasi Enzim Untuk Mengatasi Alergi Gandum


Pendahuluan
Alergi terhadap makanan merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak di bawah usia 6 tahun. Alergi terhadap makanan adalah salah satu masalah kesehatan yang penting dan memerlukan perhatian masyarakat, karena penyakit ini
Gandum adalah salah satu tanaman yang telah dikonsumsi secara luas oleh masyarakat dunia dan telah banyak dipakai dalam produksi berbagai macam makanan. Gandum atau terigu merupakan alergen yang umum sebagai pemicu terjadinya reaksi alergi terhadap makanan pada usia di bawah 20 tahun. Alergi terhadap gandum menjadi masalah yang sangat penting, khususnya di negara-negara industri.
Luasnya pemanfaatan gandum dan potensinya sebagai allergen ketiga terbesar penyebab alergi terhadap makanan, maka para peneliti mulai mencari pemecahan permasalahan ini. Salah satunya dengan cara pembuatan alternatif tepung gandum yang memiliki alergenisitas yang lebih rendah.

Alergi
Alergi merupakan reaksi yang terjadi karena sensitivitas yang berlebihan (hipersensitif) terhadap suatu molekul (antigen) yang terpapar pada tubuh. Antigen yang memicu terjadinya reaksi alergi dinamakan alergen. Reaksi alergi merupakan salah satu bentuk kelainan dari sistem imunitas tubuh. Alergi  mempengaruhi individu secara atopik untuk mensintesis immunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen yang berasal dari lingkungan. Di seluruh dunia, prevalensi alergi seperti asma, dermatitis atopik dan rhinitis alergi meningkat selama dua dekade.
Alergi terhadap makanan merupakan reaksi alergi yang paling umum terjadi di masyarakat dan banyak diderita oleh anak-anak. Angka prevalensi terjadinya reaksi ini terus meningkat. Salah satu penyebab umum reaksi alergi terhadap makanan adalah gandum atau terigu.
Gandum adalah salah satu biji-bijian yang sangat penting, khususnya untuk makanan. Berbagai macam tepung yang digunakan untuk pembuatan makanan merupakan turunan dari gandum dan telah dikonsumsi di seluruh dunia. Akan tetapi respon hipersensitif terhadap gandum merupakan masalah yang telah umum di negara industri.
Pada industri roti, penggunaan enzim merupakan hal yang penting. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa enzim yang dipakai dalam pembuatan roti memiliki sifat alergenik. Enzim-enzim tersebut antara lain α-amilase, amilogukosidase, selulase, glukoamilase, hemiselulase, lipoksigenase, papain, pektinase dan silanase. Dari semua enzim tersebut, α-amilase merupakan enzim yang paling banyak menyebabkan reaksi alergi.
Reaksi alergi yang disebabkan oleh gandum merupakan reaksi yang diakibatkan oleh adanya protein reseptor yang dikenali oleh sistem imun (epitop). Protein gandum diklasifikasikan menurut kelarutannya. Albumin merupakan protein gandum yang larut dalam air, globulin larut dalam garam, gliadin larut dalam etanol dan glutenin yang larut dalam urea, deterjen atau KOH.
Beberapa reaksi alergi yang disebabkan oleh gandum adalah:
-          Celiac diseases yang disebabkan oleh dicernanya fraksi gliadin.
-          Asma yang terjadi akibat menghirup tepung terigu. Reaksi ini dikenal juga dengan nama Baker’s asthma yang telah lama dikenal sejak zaman Romawi. Reaksi ini dipicu oleh fraksi globulin yang merupakan inhibitor α-amilase.
-          Inflamasi kulit atau dermatitis atopik, hingga saat ini reaksi ini masih belum diketahui penyebabnya. Akan tetapi reaksi ini seringkali terjadi pada penderita alergi terhadap makanan, termasuk alergi terhadap gandum.
-          FDEIA (Food Dependent Exercise Induced Anaphylaxis) yang merupakan reaksi alergi yang terjadi karena menggerakkan badan/olahraga yang sebelumnya telah menkonsumsi suatu makanan tertentu. Reaksi ini disebabkan oleh fraksi gliadin.

Aplikasi enzim untuk mengurangi reaksi Alergi
Gandum atau terigu adalah salah satu biji-bijian yang sangat penting, khususnya untuk makanan. Berbagai macam tepung yang digunakan untuk pembuatan makanan merupakan turunan dari gandum dan telah dikonsumsi di seluruh dunia. Akan tetapi respon hipersensitif terhadap gandum merupakan masalah yang telah umum di negara industri.
Oleh karena itu, perlu adanya alternative lain sebagai pengganti gandum untuk bahan baku tepung. Salah satunya adalah dengan cara membuat tepung yang memiliki alergenisitas yang rendah (hipoalergenik).
Ide pembuatan tepung ini berdasarkan dari studi struktur epitop protein gandum. Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan menghidrolisis ikatan peptide dari residu epitop yang dekat dengan proline. Selanjtnya dilakukan screening enzim yang memiliki aktivitas tinggi dalam menghidrolisis ikatan peptide di dekat proline. Enzim tersebut harus memiliki karakter dapat menurunkan aktivitas amilase dengan harapan dapat meminimalisir rasa manis, menurunnya potensi amilum dan menurunnya volume produk.
Dari hasil screening didapatkan dua jenis enzim yang memiliki kemampuan tinggi dalam hidrolisis ikatan peptide dengan menurunkan aktivitas amilase. Kedua enzyme tersebut adalah bromelain dan aktinase. Aktinase lebih dipilih karena bromelain dapat menyebabkan reaksi sensitif terhadap sebagian orang.
Dari hasil analisis, aktinase memiliki kemampuan yang rendah dalam menurunkan aktivitas alergenik, maka dalam proses enzimatik pembuatan tepung hipoalergenik juga digunakan enzim selulase. Enzim ini dapat mengurangi sifat alergen dari karbohidrat dan menurunkan aktivitas amilase. Selulase digunakan pada tahap pertama dari proses enzimatik untuk menghindari inaktivasinya oleh aktinase.
            Dengan adanya penelitian tentang alternatif tepung gandum yang memiliki alergenisitas yang lebih rendah daripada tepung gandum biasa, maka diharapkan kasus alergi karena mengkonsumsi makanan berbahan dasar tepung gandum dapat dikurangi.

Pustaka
Houba, R., P. van Run, G. Doekes, D. Heederik and J. Spithoven. 1997. Airborne levels of α-amylase allergens in bakeries. J Allergy Clin Immunol Vol. 99 No 3: 286-292.
James, J.M., J.P. Sixbey, R.M. Helm, G.A. Bannon and A.W. Burks. 1997. Wheat α-amylase inhibitor: A second route of allergic sensitization. J Allergy Clin Immunol Vol 99 No 2: 239-244.
Kamiyama, N., M. Hiemori, M. Kimoto, M. Suzuki, H. Yamashita, Y. Takahashi and H. Tsuji. 2009. Preparation and Epitope Mapping of a Monoclonal Antibody against Tri a Bd 27K, a Major Wheat Allergen. Biosci. Biotechnol. Biochem., 73 (9): 2113-2116.                                                                                    
Kobayashi, S., J. Watanabe, J. Kawabata, E. Fukushi and H. Shinmoto. 2004. A Novel Method for Producing a Foodstuff from Defatted Black Sesame Seed That Inhibits Allergen Absorption. Biosci. Biotechnol. Biochem., 68 (2): 300-305.
Kusaba-Nakayama, M., M. Ki, E. Kawada, M. Sato, I. Ikeda, T. Mochizuki and K. Imaizumi. 2001. Intestinal Absorbability of Wheat Allergens, Subunits of a Wheat α-amylase Inhibitor, Expressed by Bacteria. Biosci. Biotechnol. Biochem., 65 (11): 2448-2455.
Kusaba-Nakayama, M., M. Ki, M. Iwamoto, R. Shibata, M. Sato and K. Imaizumi. 2000. CM3, One of the Wheat α-Amylase Inhibitor for Subunits, and Binding of IgE in Sera from Japanese with Atopic Dermatitis Related to Wheat. Food and Chemical Toxicology 38: 179-185.
Tanabe, Soichi. 2008. Analysis of Food Allergen Structures and Development of Foods for Allergic Patients. Biosci. Biotechnol. Biochem., 72 (3): 649-659.
Tokuda, R., M. Nagao, Y. Hiraguchi, K. Hosoki, T. Matsuda, K. Kouno, E. Morita and T. Fujisawa. 2009. Antigen-Induced Expression of CD203c on Basophils Predicts IgE-mediated Wheat Allergy. Allergology International Vol 58 No 2: 193-199.
Watanabe, J., S. Tanabe, K. Sonoyama, M. Kuroda and M. Watanabe. 2001. IgE-reactive 60 kDa Glycoprotein Occuring in Wheat Fluor. Biosci. Biotechnol. Biochem., 65 (9): 2102-2105.
Watanabe, J., S. Tanabe, M. Watanabe, T. Kasai and K. Sonoyama. 2001. Consumption of Hypoallergenic Flour Prevents Gluten-induced Airway Inflammation in Brown Norway Rats. Biosci. Biotechnol. Biochem., 65 (8): 1729-1735.



Pengembangan Alat Diagnostik HBsAg Berdasarkan Metode Imunokromatografi

Pendahuluan
Infeksi virus hepatitis B adalah salah satu hepatitis yang tersering ditemukan dan merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar di dunia. Pada saat ini diperkirakan terdapat 350 juta pengidap hepatitis B di dunia dan tiga perempat dari mereka (78%) berada di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (WHO, 1987). Di Indonesia hepatitis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit infeksi dan paru dengan jumlah penderita mencapai ± 40 juta.
Rapid test merupakan uji kromatografi immunoassay dengan menggunakan metode “direct sandwich”.  Prinsip dasar rapid test adalah pengikatan antigen oleh antibodi monoklonal yang spesifik.  Salah satu jenis rapid tes yang banyak digunakan adalah alat diagnostik berupa stik uji untuk mendeteksi keberadaan antigen atau pun antibody dalam sampel berupa darah, plasma atau serum. Stik uji ini mirip dengan stik kehamilan yang menggunakan prinsip imunokromatografi yang telah banyak digunakan dan beredar di masyarakat.
Secara umum metode Imunokromatografi  untuk  mendeteksi sebuah spesimen dengan menggunakan dua antibodi. Antibodi pertama berada  dalam larutan uji atau sebagian terdapat  pada  membran berpori dari alat uji.  Antibodi ini dilabeli dengan lateks partikel atau partikel koloid emas (antibody berlabel). Keberadaan antigen akan dikenali oleh antibody berlabel dengan membentuk ikatan antigen-antibodi . komplek ikatan ini kemudian akan mengalir  karena adanya  kapilaritas menuju penyerap, yang terbuat dari kertas penyaring. Selama aliran, kompleks ini akan dideteksi dan diikat oleh antibody kedua  yang terdapat pada  membran berpori, sehingga terdapat komplek pada daerah deteksi pada membran yang menunjukkan hasil uji.
Immunochromatography test (ICT) HBsAg  merupakan uji imunokromatografi yang dapat mendeteksi antigen yang terdapat pada serum atau plasma.  Prinsip dasarnya adalah adanya pengikatan antara antigen (HBsAG) dengan antibody (anti-HBs) pada daerah test line, selanjutnya antibody akan berikatan dengan colloidal gold-labeled conjugate.  Komplek yang terbentuk akan bergerak pada membran nitroselulosa.
Deteksi antigen dengan menggunakan metode ini memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan metode yang lain seperti ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), RIA-IRMA dan lain-lain. Kelebihan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk pengujian relatif singkat sekitar 2-10 menit dan hasil uji dapat dilihat secara langsung. Pengujian dengan metode ini juga dapat dilakukan oleh setiap orang karena tidak memerlukan ketrampilan khusus seperti halnya dalam uji ELISA. Selain itu, metode ini dapat dijadikan sebagai pemeriksaan awal (screening test) untuk uji kualitatif dan dapat dikerjakan langsung di lapangan karena merupakan alat uji yang sederhana. Walaupun, metode ini lebih sederhana dan mudah dibandingkan metode lainnya, akan tetapi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap antigen.

Riset dan Pengembangan
Penelitian tentang pembuatan alat diagnostik yang praktis berdasarkan metode imunokromatografi terhadap HBsAg telah banyak dilakukan dan dikembangkan. Penelitian ini meliputi penelitian pembuatan antibody monoklonal yang spesifik terhadap HBsAg, uji sensitivitas dan uji spesifisitas. Penelitian ini sangat diperlukan untuk membandingkan strip HBsAg yang dikembangkan dengan alat diagnostic lainnya yang beredar di pasaran. 
Pembuatan antibodi monoklonal
Pembuatan antibodi monoklonal dilakukan berdasarkan teknologi hibridoma dengan menggunakan hewan coba berupa tikus atau kelinci. Langkah-langkah dalam pembuatan antibody monoklonal seperti pada gambar di bawah ini:

Alur pembuatan antibodi monoklonal
  1. Antigen disuntikkan pada hewan coba dengan harapan hewan coba membentuk antibodi terhadap antigen yang disuntikkan. Darah dari hewan coba kemudian disentrifugasi untuk memisahkan plasma darah dengan serum. Serum yang didapatkan mengandung antibody terhadap antigen, akan tetapi antibody yang dihasilkan merupakan antibody poliklonal.
  2. Sel limfosit dari hewan coba yang telah disuntik antigen kemudian diambil dan difusikan dengan sel myeloma sehingga terbentuklah sel hibridoma. Sel hibridoma ini kemudian diklon sehingga didapatkan antibody monoklonal yang spesifik terhadap antigen.
Uji Sensitivitas dan Uji Spesifisitas
Uji sensitivitas dan uji spesifisitas alat diagnostic sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas alat diagnostic yang dikembangkan. Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu alat diagnostic dalam mendeteksi keberadaan suatu senyawa, dalam hal ini HBsAg. Begitu pula halnya dengan uji spesifisitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat spesifikasi alat diagnostic dalam mendeteksi suatu senyawa (antigen) tertentu.

Tahapan Pengembangan Produksi (Scalling Up)
Prototype strip diagnostik yang telah melalui uji kelayakan akan menjalani pengembangan proses (scalling up). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan scale up adalah faktor-faktor yang berubah secara mekanik maupun fisik dengan adanya scale up yang dapat menurunkan sensitivitas dan spesifisitas produk.

Tahapan Proses Produksi HBsAg strip
Membran nitroselulosa
Membrane nitroselulosa dengan pori-pori 8 μm disemprot membentuk garis dengan antibody monoklonal dengan konsentrasi 0,4 mg/ml menggunakan mesin semprot (garis pertama). Selanjutnya, sejajar dengan garis pertama dibentuk garis kedua dari anti-immunoglobulin kelinci (IgG) dengan konsentrasi 0,2 mg/ml. Membrane kemudian dikeringkan selama 30 menit sebelum direndam ke dalam larutan penyangga selama 1 menit. Setelah perendaman, membrane dikeringkan kembali selama 60 menit pada suhu 37°C.
Matrik konjugat
Lapisan selanjutnya berupa matriks berpori yang disemprot dengan campuran dari antigen dan konjugat (antibodi monoklonal-koloid emas).  Lapisan ini kemudian dikeringkan pada suhu 37°C selama 2 jam.
Perakitan
Matrik berpori digabungkan dengan lembaran yang mengandung membrane nitroselulosa dan pada salah satu ujungnya. Lembaran kemudian dipotong menjadi strip dengan ukuran 5-6 mm.

Referensi

Peng, F., Z. Wang, S. Zhang, R. Wu, S. Hu, Z. Li, X. Wang, dan D. Bi.  2008.  Development of an Immunochromatographic Strip for Rapid Detection of H9 Subtype Avian Influenza Viruses.  Clinical dan Vaccine Immunology : 569-574.
Shyu, Rong-Hwa, Huey-Fen Hsyu, Hwan-Wun Liu and Shiao-Shek Tang. 2002. Colloidal gold-based immunochromatographic assay for detection of ricin. Toxicon 40: 255-258.

Ward, P.A., J. Adams, D. Faustman, G.F. Gebhart, J.G. Geistfeld, J.W. Imbaratto, N.C. Peterson, F. Quimby, A. Marshak-Rothstein, A.N. Rowan, and M.D. Scharff. 1999. Monoclonal Antibody Production. National Academy Press. Washington DC.

Yu-Huei Lin, Yu-Hue, Yi Wang, A. Loua, Gwo-Jen Day, Yan Qiu, E.C.B. Nadala Jr., Jean-Pierre Allain, and H.H. Lee. 2008. Evaluation of a New Hepatitis B Virus Surface Antigen Rapid Test with Improved Sensitivity. Journal of Clinical Microbiology Vol. 46, No. 10: 3319-3324.