Tugas terbesar umat Islam ialah memimpin dunia, mengajar seluruh kemanusiaan kepada sistem Islam, membimbing kepada cara hidup Islam, kepada ajaran yang baik, karena tanpa Islam manusia tidak mungkin mendapat bahagia1. tugas ini tidak lain adalah da’wah.
Da’wah ini bukan tugas juz’iyah yang membatasi amal hanya pada satu aspek saja serta mengabaikan aspek lainnya dalam mencapai tujuan2, dan bukan pula tugas sampingan. Bukan tugas yang hanya mencapai tujuan terbatas dalam aspek politik, sosial dan ekonomi saja. Tugas ini pun tidak terbatas pada suatu daerah tertentu dan pada suatu bangsa tertentu. Akan tetapi, tugas ini merupakan tugas yang meliputi segenap sisi kehidupan, demi kebaikan seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk Allah.
Melihat besarnya manfaat dan luasnya ruang lingkup kerja da’wah, maka tugas ini bukanlah tugas yang ringan. Oleh karena itu, membutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam memikul beban berat. Da’wah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Yang diperlukan adalah usaha yang terus menerus dan hasilnya terserah kepada Allah, sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya. Jadi, seorang da’i mungkin tidak akan melihat hasil da’wahnya sewaktu hidup di dunia.
Sebaliknya, para da’i yang berjuang di jalan Allah akan menemui berbagai gangguan dan penyiksaan dari golongan yang tidak menyukai akan tegaknya kebenaran dan musuh-musuh Allah yang akan menghapuskan mereka, memusnahkan da’wah mereka, atau pun menghalangi mereka untuk tetap di jalan-Nya. Hal ini adalah biasa bagi orang yang berjuang menegakkan kebenaran dan hal ini pun terus berulang di setiap zaman. Sehingga pentingnya seorang da’i untuk bersikap sabar dan senantiasa memohon pertolongan Allah swt.
Setelah Islam mengalami kemunduran sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, kini Islam mulai bangkit dengan lahirnya berbagai gerakan da’wah di seluruh penjuru dunia. Kebangkitan Islam kembali dan arus da’wah Islam menjalar di kalangan generasi baru, para pemuda Islam.
Terdapat banyak persamaan antara marhalah-marhalah da’wah yang dihayati oleh da’wah Islam sekarang ini dengan marhalah-marhalah pada permulaan da’wah Islam di zaman Rasulullah saw. Islam merupakan hal yang asing, sedangkan propaganda jahiliyah terus berjalan dengan leluasa. Para pendukung da’wah ditindas, dikotak-kotakkan, dikepung dari segala penjuru untuk dihancurkan.
Dulu musuh Islam adalah kaum Majusi di sebelah timur dan kerajaan Romawi di sebelah barat. Maka, musuh-musuh Islam hari ini adalah golongan Komunis di timur, dan golongan Salibiah, Kristen dan Zionisme dari negara Barat serta kalangan kaum muslimin yang sekuler yang telah diracuni hati dan pikiran mereka oleh ideologi jahiliyah modern.
Sebelum terjun lebih lanjut dalam medan da’wah yang berat, maka seorang da’i terlebih dahulu haruslah mengenal cara dan tanda-tanda da’wah yang khas dan istimewa. Hal ini penting dilakukan untuk menyatukan pemahaman seputar da’wah, agar tidak terjebak dalam bermacam-macam cara da’wah yang saling bertentangan. Para da’i, khususnya generasi muda haruslah mengetahui jalan atau cara da’wah yang benar, kemudian memikul tugas dan amanah ini agar para pendukung da’wah berhimpun menjadi satu dan berjalan bersama ke arah satu tujuan. Hendaklah kekuatan dan usaha disesuaikan dan barisan diatur dengan rapi sehingga pertolongan Allah akan senantiasa bersamanya.
Tahapan Da’wah
Da’wah Islamiyah dalam tahap seruan secara internasional merupakan tahap yang sangat penting, kritis dan penuh liku-liku. Ini merupakan tahap kebangkitan setelah jatuh, tahap kesadaran setelah terlena dan lalai, bahkan merupakan satu tahap pembentukan dan penancapan dasar yang teguh dan kokoh untuk tegaknya Daulah Islamiyah yang bersifat internasional.
Terdapat perbedaan kewajiban bagi seorang muslim sekarang ini dengan seorang muslim yang hidup pada masa Daulah Islamiyah tegak berdiri. Pada tahap pembentukan dan pembinaan serta peletakan dasar-dasar daulah jelas jauh lebih sulit dan sukar, memerlukan iman yang mendalam, kesabaran dan kerapian, teliti dan cermat, serta usaha yang berkesinambungan dan tidak mengenal lelah. Hal ini pun menjadi berat karena sedikitnya mu’min yang aktif berjuang di jalan ini dan senjata yang dimiliki hanyalah berupa iman, sedangkan musuh yang dihadapi adalah kebathilan yang kuat dan berkuasa. Dalam hal ini Imam Hasan al-Banna mengatakan: “Sesungguhnya pembentukan umat, pendidikan bangsa, mewujudkan cita-cita dan mendukung sikap (pegangan) hidup memerlukan suatu umat yang bersedia tampil atau sekelompok orang yang menyeru ke arah itu. Inilah yang sekurang-kurangnya memerlukan kekuatan jiwa yang di dalamnya terhimpun kemauan yang gigih dan tidak mengenal lelah, kesetiaan teguh yang tidak dicampuri kepura-puraan dan khianat, pengorbanan banyak yang tidak terhalang oleh perasaan tamak dan loba serta kebakhilan, dan mengetahui secara pasti akan dasar kehidupannya, mengimani dan menghargainya dengan benar-benar. Sifat-sifat di atas dapat memelihara kita dari terjerumus pada kesalahan-kesalahan dan penyelewengan pembentukan serta tawar-menawar atau apologetic dalam persoalan asasi, dan tidak terpedaya dengan yang lain.”1
Setiap da’wah hendaklah melalui tiga tahap (marhalah), yaitu:
1. Tahap penerangan (ta’rif) atau tahap propaganda ialah memperkenalkan, menggambarkan ide (fikrah) dan menyampaikannya kepada khalayak ramai dan setiap lapisan masyarakat.
2. Tahap pembinaan dan pembentukan (takwin), yakni tahap pembentukan, memilih pendukung, menyiapkan pasukan, mujahid, dan mujahid da’wah serta mendidiknya.
3. Tahap pelaksanaan (tanfidz), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak mencapai tujuan.
Ketiga tahapan ini selalu bergandengan dan harus disesuaikan satu sama lainnya, karena kekuatan dan kesatuan da’wah bergantung pada kekompakan seluruh tahap tersebut. Jadi, para pendukung da’wah dalam melancarkan da’wahnya haruslah memilih dan membentuk anggota da’wah, dan dalam waktu yang sama dia bergerak melaksanakan apa yang dapat dilaksanakan.
Tahapan ini tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali melalui susunan yang tertib. Sebab suatu pembentukan tidak akan berjalan secara sempurna, tanpa lebih dahulu melalui tahap pengenalan dan pemahaman yang baik dan benar. Tahap pelaksanaan pun tidak akan lengkap tanpa melalui proses pembentukan dan pembinaan dasar pendidikan yang sempurna.
Pengenalan (At-Ta’rif) Da’wah
Tahap pengenalan ini sangat mendasar, sebab merupakan langkah awal dalam perjalanan da’wah. Setiap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam peringkat pengenalan dan pemahaman ini akan membawa akibat buruk dan menjadikan perjalanan da’wah terpeleset jauh dari garis edarnya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 153
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”
Untuk memastikan umat Islam selalu berada di jalan Rasulullah, kita harus memahami Islam kembali dengan pemahaman yang benar, harus kembali memahami Al-Qur’an, Al-hadits dan Sirah angkatan muslim pertama yang shalih, dengan menjauhi segala kesalahan dan penyelewengan atau penyimpangan.
Tahap ini merupakan langkah pertama dalam suatu perjalan da’wah. Kesuksesan dan keselamatan tahap ini akan mempengaruhi tahap-tahap berikutnya. Terdapat beberapa persoalan yang berkaitan dengan da’wah dan da’i, yakni:
a. Kemurnian da’wah
Kemurnian da’wah sangat penting dalam menyampaikannya kepada manusia. Sepanjang sejarah, musuh-musuh Islam telah berusaha keras dan terus-menerus memasukkan berbagai ide dan ajaran serta pemikiran sesat ke dalam Islam. Mereka melakukannya dengan tujuan untuk menyesatkan dan mengosongkan ruh dan semangat Islam dari intinya.
Oleh karena itu, untuk memahami Islam dengan pemahaman yang murni dan benar, umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an yang senantiasa dipelihara Allah, sunnah Rasulullah yang telah dikumpulkan dan disaring oleh imam-imam yang mulia. Kita harus kembali mengikuti pemahaman yang benar dan selamat dari Salafiyyin yang hidup pada masa nabi Muhammad saw. dan para Khulafaurrasyidin.
Jika realitas kaum muslimin sekarang ini telah jauh melenceng dari garis panduan Islam, telah jauh dari perundangan dan syari’at Islam, maka seharusnya para da’i melipatgandakan usaha dan kesungguhannya untuk menarik kembali kaum muslimin pada jalan yang benar, membangkitkan kembali dan membantu mereka dalam memahami Islam, bukan mengkafirkannya.
b. Totalitas da’wah
Ketika menyampaikan da’wah dan peringatan, kita harus mengemukakan keuniversalan Islam dengan lengkap, utuh, total dan menyeluruh tanpa memisah-misahkan antara satu bagian dengan bagian lainnya, atau menghapuskan satu bagian dari keseluruhannya, sebab Islam adalah penutup segala agama.
Islam sendiri adalah agama yang istimewa, universal, lengkap, sempurna dan mencakup seluruh persoalan hidup manusia duniawi dan ukhrawi dalam keselarasan dan keharmonisan yang unik.
Kehidupan manusia sendiri melambangkan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Islam dating sebagai satu kesatuan yang total, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Islam harus dikemukakan secara total, lengkap dan utuh, tanpa dipisah-pisahkan menjadi beberapa bagian yang berserakan di sana-sini. Dan Islam harus dilaksanakan sepenuhnya, tidak dapat dilaksanakan secara parsial, terutama dilaksanakan sebagian dan ditinggalkan sebagian lainnya.
c. Da’i dan uslub da’wah
Untuk mewujudkan cita-cita dalam memperkenalkan dan mengembangkan da’wah, seorang da’i harus memiliki sifat-sifat asasi dan ia harus berpegang pada uslub atau cara yang benar dan baik dalam melaksanakan da’wahnya.
Di antara sifat utama dan asasi bagi seorang da’i ialah harus menjadi contoh, teladan dan model yang baik bagi Islam yang dida’wahkannya. Ia mengikuti sunnah Rasulullah saw., menjauhi syubhat dan yang meragukan, menjauhi yang haram, senantiasa mengingat Allah dalam persoalan kecil dan besar.
Salah satu faktor terpenting dalam da’wah adalah keihklasan dan kebulatan tekad seorang da’i semata-mata karena Allah dan da’wah ilallah, agar da’wah yang dibawanya dapat berhasil menembus dan menarik hati orang-orang yang diseru (mad’u), dan mereka dengan senang hati menyambut seruan tersebut. Seorang da’i berbicara untuk da’wah, bergerak untuk da’wah dan berjalan karena da’wah.
Seorang muslim yang bergerak di bidang da’wah harus mempunyai bacaan luas, mengikuti segala macam peristiwa dan pergolakan yang terjadi, mengikuti perkembangan kondisi dan situasi, dan mengetahui berbagai aliran pemikiran dan, dengan uslub dan cara yang baik, menarik dan menawan hati manusia, sehingga orang semakin mendekatinya. Dia mampu menerangkan Islam dengan jelas dan mudah dipahami, serta tidak menimbulkan kekusutan, mampu memperbaiki kondisi dan situasi dengan memberikan solusi, bukan memperkeruh atau mempertajam suatu permasalahan.
Allah berfirman:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Seorang da’i Islam harus memahami tingkat dan kedudukan mad’u dan berbicara dengan mereka sesuai dengan tingkat kecerdasannya, karena dengan itu akan memudahkan mereka untuk menyambut apa yang diserukannya dan mereka tidak bosan mendengar ucapan da’i tersebut.
Dan yang paling penting, seorang da’i dalam melancarkan da’wahnya harus terlebih dahulu menekankan masalah aqidah sebelum membicarakan masalah furu’iyah atau kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Aqidah Islamiyah merupakan asas pembentukan pribadi muslim, dan inilah yang mendorong penganutnya bangkit dan mendukung seluruh konsekuensi da’wah, baik yang umum maupun yang khusus dengan segala macam potensi, kekuatan dan tekad penuh, rela serta ikhlas.
Sebelum menuju tahap pembentukan dan pembinaan (takwin), perlu diamati sejenak segi-segi kesiapan psikologis dan emosi yang ada, agar sasaran yang dikehendaki dalam tahap pembentukan dan pembinaan serta penyiapan da’i dapat terwujud di alam nyata atau dapat direalisasikan di muka bumi ini.
Tugas, tanggung jawab dan besarnya cita-cita yang akan dibangun membuat kita selalu memperhitungkan kepentingan dalam mempersiapkan individu-individu muslim atau seberapa banyak pendukung da’wah yang ikhlas dan pantas untuk memikul amanah serta melaksanakannya secara sempurna, terutama setelah kita tahu bahwa membentuk kader lebih penting dan lebih sulit dari pada menbangun pabrik.
Pembentukan dan Pembinaan (Takwin)
Tahap penerangan dan propaganda atau tahap pengenalan ide, jika tidak diiringi dengan tahap pembentukan dan pembinaan (takwin) atau pemilihan pendukung dan pembela seperti golongan Anshar dan Hawariyun, dan mempersiapkan pasukan atau laskar serta mengatur taktik barisan dari kalangan orang-orang yang diseru (mad’u), kemungkinan akan menjadikan segala usaha yang telah dikorbankan pada tahap penerangan dan pengenalan ide da’wah akan menjadi sia-sia, bahkan akan hilang tanpa bekas.
Kesadaran rohani yang telah muncul dalam tahap penerangan dan pengenalan (ta’rif) tidak boleh dibiarkan musnah dan padam, tetapi harus dipelihara dan diarahkan ke dalam jiwa agar bergerak dan berusaha membuat perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang sejati dalam diri sendiri. Medan pertama untuk pembentukan dan pembinaan serta perubahan ini dimulai dalam diri sendiri.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (Ar-Ra’ad: 11).
Perubahan ini harus dimulai dari diri pribadi yang telah disirami dengan aqidah tauhid, mengesakan dan merasakan manisnya iman serta dapat diaktualisasikan dalam seluruh anggota tubuhnya dan dalam seluruh aspek kehidupannya.
Individu Muslim yang Dikehendaki
Umat Islam dewasa ini jumlahnya banyak, tetapi kualitasnya sangat rendah dibanding dengan kualitas umat Islam generasi pertama di zaman Rasulullah saw. Masyarakat kita pada saat sekarang ini tengah mengalami masa yang sangat rumit menyangkut aspek kehidupan yang paling dalam, yaitu transformasi nilai, budaya dan perilaku. Salah satu penyebabnya adalah proses globalisasi yang menimbulkan pergesekan budaya antara Islam dan nilai-nilai lainnya. Situasi demikian terjadi di saat kondisi umat Islam yang belum terlalu siap3.
Dalam sudut pandang kultural, kesiapan yang diharapkan dalam rangka menghadapi globalisasi adalah umat harus mengetahui dengan baik basis identitasnya dan mengetahui dengan baik elemen-elemen yang membentuk kepribadian kolektifnya sebagai umat. Sehingga jika memiliki kekuatan dan jati diri, dengan sendirinya akan menghadirkan imunitas yang kuat ketika bergaul dan berinteraksi dengan budaya-budaya lain.
Masalahnya umat Islam sekarang ini tidak memiliki imunitas itu. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam sebagai basis identitas diri kita. Imunitas itu sendiri adalah umat Islam dengan dasar identitasnya (Islam red.) dapat memilah mana yang harus diambil dan hal apa yang akan diberikan pada umat lain.
Dengan memiliki imunitas yang kuat, maka kita akan berada dalm posisi yang seimbang. Di saat kita menerima, kita mengetahui apa yang kita terima dan di saat yang sama, kita juga mengetahui apa yang kita berikan. Imunitas seperti itu hanya bisa terjadi kalau umat memahami dengan betul ajaran Islam sebagai basis. Akan tetapi, saat ini umat terbelah kepribadiannya sehingga tidak memiliki jati diri.
Ada beberapa hal yang menyebabkan umat kehilangan jati diri, yaitu:
- Umat Islam jauh dari agamanya sendiri. Islam yang dianut oleh mayoritas adalah Islam warisan, bukan Islam yang merupakan pilihan hidup. Sehingga tidak banyak berpengaruh dalam membentuk dan mewarnai kehidupan.
- Para ulama yang ada dalam tubuh umat belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Bahkan, tampak para ulama kita tidak berdaya memimpin umat ini. Dampaknya, umat Islam dalam menyikapi masalah politik, ekonomi misalnya, tidak lagi dipengaruhi oleh ulama. Akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh media massa. Ini berarti, ulama sudah tidak lagi memimpin umatnya.
- Suksesnya kaum imperialis dalam mengangkat para pemimpin negeri-negeri Islam yang telah terjangkiti sekulerisme. Realitas membuktikan, hamper rata-rata negeri Islam dipimpin oleh anak bangsanya yang sekuler. Sekuler yang tidak hanya jauh dari agama, tapi juga memusuhi agama.
- Adanya usaha-usaha sistematis yang dilakukan negara-negara besar untuk mendominasi seluruh negara Islam dan menyebarkan nilai-nilai kehidupan mereka ke dalam kehidupan umat Islam.
Karena pengaruh dan tampilan serta dominasi mereka atas infrastruktur kehidupan bermasyarakat, seakan-akan itu menjadi trend dan budaya yang bagus.
Jika dipilah berdasarkan tingkat terjangkitnya budaya Barat (hedonisme red.), maka umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan. Ada golongan yang masih dekat dengan Islam, ada pula yang sudah parah terjangkit budaya Barat.
Untuk menyembuhkan atau mengubahnya cara yang paling bagus adalah memulai dari orang yang setengah sehat yang memiliki peluang sembuh lebih besar dalam waktu yang lebih singkat. Kita mengambil segmen umat yang tidak terlalu terkontaminasi dengan budaya Barat, fitrahnya masih jernih, akalnya masih sehat, kesadaran beragamanya masih tinggi.
Kita mulai dengan individu, dimana konsep yang paling baik dalam perbaikan individu adalah bekerja dengan meringkas waktu. Kalau ingin memperbaiki umat dengan kembali kepada perbaikan individu, maka kita harus melihat bahwa individu yang akan kita perbaiki itu adalah individu yang mempunyai dua kualitas.
Kualitas pertama adalah bahwa individu itu mempunyai fitrah untuk berubah dan kembali kepada Islam, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dimana kadar kontaminasi budaya Barat di dalam dirinya sedikit dan punya harapan untuk sembuh, kembali kepada Islam.
Sedangkan kualitas kedua dalah, hendaknya orang itu juga mempunyai bakat dan potensi dalam dirinya untuk menyembuhkan orang lain atau untuk melakukan perubahan. Dengan demikian, yang pertama adala kesiapan untuk berubah, dan yang kedua kemampuan untuk mengubah. Sehingga, nantinya setiap orang yang berubah merupakan agen perubahan selanjutnya.
Seorang mujahid yang berjuang dan berjihad, atau seorang kader dakwah harus memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap agamanya, pemahamannya yang menyeluruh, lengkap dan orisinal terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ia harus memiliki keikhlasan yang besar untuk menjadi laskar da’wah, aqidah dan ideologi, bukan laskar yang hanya mengejar keuntungan dan tujuan materi semata-mata dan bukan pula angkatan yang mengejar kepentingan diri sendiri.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari diri orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (At-Taubah: 111).
Maraji’:
1 Masyhur, Syaikh Mushthafa, 2005, FIQH DAKWAH Jilid 1, Al-I’tishom Cahaya Umat, Jakarta.
2 Yakan, Fathi, 2006, Membentuk Fikrah dan Visi Gerakan Islam, Robbani Press, Jakarta.
3 Matta, M. Anis, 2006, Menuju Cahaya Recik-Recik Tarbiyah & Dakwah, Fitrah Rabbani, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar