Hm...kali ini dapat request dari Kiki untuk berbagi materi kajian Forsilam, Jum'at pekan lalu. Pemateri kajian Forsilam kali ini adalah seorang pakar hukum Islam >> ibu Destri Budi Nugraheni, beliau adalah dosen Fakultas Hukum UGM.
Terkait nafkah:
Ketika suami berkewajiban memberikan nafkah, maka kewajiban itu gugur ketika istri melakukan pembangkangan (nusyuz). Hal itu mayoritas diatur dalam Fiqh Keluarga Indonesia.
Tapi hal ini kemudian konsep ini mengalami perkembangan dalam pengadilan agama, hakim memiliki pertimbangan bahwa nusyuz tidak hanya dilakukan oleh istri, akan tetapi suami juga dapat melakukan nusyuz.
Terkait harta: tidak diatur secara khusus.
Dalam UU Perkawinan kita, harta dalam perkawinan Islam itu terbagi menjadi harta bersama dan harta pribadi.
Apakah ini sejalan dengan konsep hukum Islam?
Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut. Jadi, Perkawinan itu disamakan dengan syirkah/kemitraan. Syirkah itu macam2, misalkan seperti bank syariah, atau sebuah usaha yang dilakukan secara bersama oleh dua orang atau lebih. Nah, perkawinan merupakan syirkah karena merupakan hubungan kemitraan antara suami dengan istri.
Syirkah diatur dalam syariah, ketika ada harta yang kemudian merupakan penghasilan bersama antara suami-istri maka itu berarti sinonim dengan syirkah.
UU perkawinan tidak mengatur tentang syirkah, karena apabila berhubungan dengan kosakata bahasa Arab maka jelas di UU tidak ada. Apabila di UU tidak ada maka dilakukan penemuan hukum terkait dengan transaksi atau perbuatan hukum yang arahnya dipergunakan untuk orang-orang Islam. Jadi, ketika terkait dengan perkawinan dalam Islam, maka terbentuklah Kompilasi Hukum Islam (HKI), dikenal juga sebagai Fiqh-nya orang Indonesia. KHI mengatur tentang syirkah atau harta kekayaan.
Dalam KHI dikatakan >> "harta kekayaan di dalam keluarga meliputi harta yang didapatkan setelah menikah yang diusahakan baik sendiri ataupun bersama entah terdaftar atas nama siapapun dinamakan syirkah" atau dalam bahasa UU Perkawinan sebagai harta bersama.
Urgensinya?
Yang diatur kemudian adalah apabila terkait dengan kematian atau perceraian. Menjadi penting kemudian kita memiliki catatan inventarisasi barang-barang yang kita miliki. Jika hal ini tidak jelas maka, apabila kemudian nanti terjadi hal yang tidak diinginkan (mis. perceraian) maka menjadi ribet nantinya di pengadilan.
Sedangkan, jika nantinya terjadi kematian, maka akan menjadi sulit untuk menentukan harta peninggalan almarhum/ah yang nantinya dibagi sebagai harta warisan.
Jadi, sekali lagi harta di dalam perkawinan Islam itu terbagi menjadi harta bersama dan harta pribadi.
>> Yang disebut dengan harta bersama adalah harta sesudah menikah. Jadi, ketika yang bekerja adalah suami saja atau istri saja atau keduanya, maka dari harta yang diperoleh tersebut terdapat hak istri/suami. Umumnya demikian, sehingga dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Harta bersama adalah harta yang dibeli setelah menikah.
Itulah alasan menjadi pentingnya inventarisasi harta yang dimiliki untuk membedakan antara harta bersama dan harta pribadi, karena apabila terjadi kematian, maka harta peninggalan adalah separuh dari harta bersama.
2. Harta yang dibeli dengan harta bersama sesudah perceraian, maka harta tersebut masuk kategori harta bersama.
Mayoritas masyarakat Indonesia, harta bersama umumnya diatas-namakan nama suami, sehingga yang mengelola adalah suami. Saat kemudian terjadi perceraian dan harta bersama belum dibagi dan oleh suami harta kemudian dipakai untuk membeli aset tanah atau rumah, maka tanah atau rumah tersebut masuk ke dalam harta bersama.
3. Penghasilan suami-istri setelah menikah termasuk harta bersama.
Hal ini terkait dengan kredit di bank, penting mendapat ijin kedua belah pihak karena harta yang dipakai adalah harta bersama.
4. Penghasilan dari harta pribadi yang diperoleh setelah menikah.
Misalkan, sebelum menikah telah memiliki suatu usaha, maka penghasilan usaha ini setelah menikah menjadi harta bersama. Adapun aset/modal dari usaha tersebut tetap menjadi harta pribadi.
>> Harta pribadi adalah harta yang dimiliki sebelum menikah, atau harta yang diperoleh setelah menikah tapi dengan penunjukan langsung atas nama pribadi. Misalkan, harta warisan. Apabila suami/istri mendapatkan harta warisan dari orang tua masing-masing, maka harta tersebut menjadi harta pribadi masing-masing dan tidak termasuk ke dalam harta bersama.
Jadi, terdapat pengaturan yang tegas antara harta pribadi dengan harta bersama. Hal ini berbeda dengan konsep hukum Barat yang tertuang dalam hukum perdata. Dalam KUH perdata peninggalan Belanda, harta pribadi sebelum menikah menjadi harta bersama setelah menikah.
Adapun dalam Islam, antara harta pribadi dengan harta bersama terpisah. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi di bawah penguasaan masing-masing. Sedangkan, harta bersama berada di bawah penguasaan bersama suami-istri yang dijaga oleh suami dan tidak boleh dilakukan perbuatan hukum kecuali atas ijin kedua belah pihak.
Dalam HKI, pembagian harta bersama telah ditegaskan >> "apabila terjadi perceraian atau kematian, masing-masing berhak setengahnya".
Tapi norma ini fakultatif, maksudnya: kecuali jika telah ada perjanjian antara keduanya dalam pembagian harta.
Akan tetapi, norma fifty-fifty ini tidak berlaku bagi perkawinan poligami. Jika terjadi perkawinan yang kedua kalinya, maka harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan kedua kemudian terbagi menjadi 3 bagian (1/3 untuk suami, 1/3 untuk istri pertama dan 1/3 untuk istri kedua). Begitu seterusnya untuk perkawinan ke-tiga dan ke-empat. Jadi, dalam pembagian harta bersama, bagian istri pertama menjadi yang paling besar.
Jika kemudian terjadi kematian, maka harta bersama kemudian dibagi menjadi harta suami dan harta istri. Jika yang meninggal adalah suami, maka harta bagian suami kemudian ditambahkan dengan harta pribadi suami menjadi harta peninggalan. harta peninggalan kemudian dikurangi biaya pemakaman, wasiat dan hutang barulah kemudian menjadi harta warisan yang kemudian nantinya dibagi untuk para ahli waris.
Itulah, mengapa kemudian janda memiliki bagian hanya 1/8 (lebih kecil dari bagian ibu/bapak yang sebesar 1/6) karena pada dasarnya ia telah mendapatkan setengah bagian dari harta bersama.
Nah, cukup segini dulu ya.....
[disarikan dari Materi Kajian Forsilam UGM, Jumat 9 Maret 2012 @Fakultas Teknik UGM oleh Destri Budi Nugraheni]
>> Harta dalam Keluarga <<
Terkait nafkah:
Ketika suami berkewajiban memberikan nafkah, maka kewajiban itu gugur ketika istri melakukan pembangkangan (nusyuz). Hal itu mayoritas diatur dalam Fiqh Keluarga Indonesia.
Tapi hal ini kemudian konsep ini mengalami perkembangan dalam pengadilan agama, hakim memiliki pertimbangan bahwa nusyuz tidak hanya dilakukan oleh istri, akan tetapi suami juga dapat melakukan nusyuz.
Terkait harta: tidak diatur secara khusus.
Dalam UU Perkawinan kita, harta dalam perkawinan Islam itu terbagi menjadi harta bersama dan harta pribadi.
Apakah ini sejalan dengan konsep hukum Islam?
Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut. Jadi, Perkawinan itu disamakan dengan syirkah/kemitraan. Syirkah itu macam2, misalkan seperti bank syariah, atau sebuah usaha yang dilakukan secara bersama oleh dua orang atau lebih. Nah, perkawinan merupakan syirkah karena merupakan hubungan kemitraan antara suami dengan istri.
Syirkah diatur dalam syariah, ketika ada harta yang kemudian merupakan penghasilan bersama antara suami-istri maka itu berarti sinonim dengan syirkah.
UU perkawinan tidak mengatur tentang syirkah, karena apabila berhubungan dengan kosakata bahasa Arab maka jelas di UU tidak ada. Apabila di UU tidak ada maka dilakukan penemuan hukum terkait dengan transaksi atau perbuatan hukum yang arahnya dipergunakan untuk orang-orang Islam. Jadi, ketika terkait dengan perkawinan dalam Islam, maka terbentuklah Kompilasi Hukum Islam (HKI), dikenal juga sebagai Fiqh-nya orang Indonesia. KHI mengatur tentang syirkah atau harta kekayaan.
Dalam KHI dikatakan >> "harta kekayaan di dalam keluarga meliputi harta yang didapatkan setelah menikah yang diusahakan baik sendiri ataupun bersama entah terdaftar atas nama siapapun dinamakan syirkah" atau dalam bahasa UU Perkawinan sebagai harta bersama.
Urgensinya?
Yang diatur kemudian adalah apabila terkait dengan kematian atau perceraian. Menjadi penting kemudian kita memiliki catatan inventarisasi barang-barang yang kita miliki. Jika hal ini tidak jelas maka, apabila kemudian nanti terjadi hal yang tidak diinginkan (mis. perceraian) maka menjadi ribet nantinya di pengadilan.
Sedangkan, jika nantinya terjadi kematian, maka akan menjadi sulit untuk menentukan harta peninggalan almarhum/ah yang nantinya dibagi sebagai harta warisan.
Jadi, sekali lagi harta di dalam perkawinan Islam itu terbagi menjadi harta bersama dan harta pribadi.
>> Yang disebut dengan harta bersama adalah harta sesudah menikah. Jadi, ketika yang bekerja adalah suami saja atau istri saja atau keduanya, maka dari harta yang diperoleh tersebut terdapat hak istri/suami. Umumnya demikian, sehingga dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Harta bersama adalah harta yang dibeli setelah menikah.
Itulah alasan menjadi pentingnya inventarisasi harta yang dimiliki untuk membedakan antara harta bersama dan harta pribadi, karena apabila terjadi kematian, maka harta peninggalan adalah separuh dari harta bersama.
2. Harta yang dibeli dengan harta bersama sesudah perceraian, maka harta tersebut masuk kategori harta bersama.
Mayoritas masyarakat Indonesia, harta bersama umumnya diatas-namakan nama suami, sehingga yang mengelola adalah suami. Saat kemudian terjadi perceraian dan harta bersama belum dibagi dan oleh suami harta kemudian dipakai untuk membeli aset tanah atau rumah, maka tanah atau rumah tersebut masuk ke dalam harta bersama.
3. Penghasilan suami-istri setelah menikah termasuk harta bersama.
Hal ini terkait dengan kredit di bank, penting mendapat ijin kedua belah pihak karena harta yang dipakai adalah harta bersama.
4. Penghasilan dari harta pribadi yang diperoleh setelah menikah.
Misalkan, sebelum menikah telah memiliki suatu usaha, maka penghasilan usaha ini setelah menikah menjadi harta bersama. Adapun aset/modal dari usaha tersebut tetap menjadi harta pribadi.
>> Harta pribadi adalah harta yang dimiliki sebelum menikah, atau harta yang diperoleh setelah menikah tapi dengan penunjukan langsung atas nama pribadi. Misalkan, harta warisan. Apabila suami/istri mendapatkan harta warisan dari orang tua masing-masing, maka harta tersebut menjadi harta pribadi masing-masing dan tidak termasuk ke dalam harta bersama.
Jadi, terdapat pengaturan yang tegas antara harta pribadi dengan harta bersama. Hal ini berbeda dengan konsep hukum Barat yang tertuang dalam hukum perdata. Dalam KUH perdata peninggalan Belanda, harta pribadi sebelum menikah menjadi harta bersama setelah menikah.
Adapun dalam Islam, antara harta pribadi dengan harta bersama terpisah. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi di bawah penguasaan masing-masing. Sedangkan, harta bersama berada di bawah penguasaan bersama suami-istri yang dijaga oleh suami dan tidak boleh dilakukan perbuatan hukum kecuali atas ijin kedua belah pihak.
Dalam HKI, pembagian harta bersama telah ditegaskan >> "apabila terjadi perceraian atau kematian, masing-masing berhak setengahnya".
Tapi norma ini fakultatif, maksudnya: kecuali jika telah ada perjanjian antara keduanya dalam pembagian harta.
Akan tetapi, norma fifty-fifty ini tidak berlaku bagi perkawinan poligami. Jika terjadi perkawinan yang kedua kalinya, maka harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan kedua kemudian terbagi menjadi 3 bagian (1/3 untuk suami, 1/3 untuk istri pertama dan 1/3 untuk istri kedua). Begitu seterusnya untuk perkawinan ke-tiga dan ke-empat. Jadi, dalam pembagian harta bersama, bagian istri pertama menjadi yang paling besar.
Jika kemudian terjadi kematian, maka harta bersama kemudian dibagi menjadi harta suami dan harta istri. Jika yang meninggal adalah suami, maka harta bagian suami kemudian ditambahkan dengan harta pribadi suami menjadi harta peninggalan. harta peninggalan kemudian dikurangi biaya pemakaman, wasiat dan hutang barulah kemudian menjadi harta warisan yang kemudian nantinya dibagi untuk para ahli waris.
Itulah, mengapa kemudian janda memiliki bagian hanya 1/8 (lebih kecil dari bagian ibu/bapak yang sebesar 1/6) karena pada dasarnya ia telah mendapatkan setengah bagian dari harta bersama.
>>wallahua'lam bishshawab<<
Nah, cukup segini dulu ya.....
[disarikan dari Materi Kajian Forsilam UGM, Jumat 9 Maret 2012 @Fakultas Teknik UGM oleh Destri Budi Nugraheni]
Keren postingannya :)
BalasHapusSalam kenal ya mbak
terima kasih atas kunjungannya :)
BalasHapussalam kenal juga.....